20 tahun yang lalu saya melahirkan
seorang bayi laki-laki, wajahnya comel tetapi nampak bodoh. Ali, suamiku
memberinya nama Yusri. Semakin lama semakin nampak jelas bahawa anak
ini memang agak terkebelakang. Saya berniat mahu memberikannya kepada
orang lain saja supaya dijadikan budak atau pelayan bila besar nanti.
Namun Ali mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya
juga.
Pada tahun kedua kelahiran Yusri, saya
pun melahirkan seorang anak perempuan yang cantik. Saya
menamakannya Yasmin. Saya sangat menyayangi Yasmin, begitu juga Ali.
Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikan
pakaian anak-anak yang indah-indah…
Namun tidak demikian halnya dengan
Yusri. Ia hanya memiliki beberapa helai pakaian lama. Ali berniat
membelikannya, namun saya selalu melarang dengan alasan tiada wang. Ali
terpaksa menuruti kata saya.
Saat usia Yasmin 2 tahun, Ali meninggal
dunia. Yusri sudah berumur 4 tahun ketika itu. Keluarga kami menjadi
semakin miskin dengan hutang yang semakin bertambah. Saya mengambil satu
tindakan yang akhirnya membuatkan saya menyesal seumur hidup. Saya
pergi meninggalkan kampung kelahiran saya bersama Yasmin. Saya
tinggalkan Yusri yang sedang tertidur lelap begitu saja.
Setahun.., 2 tahun.., 5 tahun.., 10
tahun.. berlalu sejak kejadian itu. Saya menikah kembali dengan Kamal,
seorang bujang. Usia pernikahan kami menginjak tahun kelima. Berkat
Kamal, sifat-sifat buruk saya seperti pemarah, egois, dan tinggi hati,
berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Yasmin
sudah berumur 15 tahun dan kami menyekolahkan dia di sekolah jururawat.
Saya tidak lagi ingat berkenaan Yusri dan tiada memori yang mengaitkan
saya kepadanya.
Hinggalah pada satu malam, malam di mana saya bermimpi mengenai seorang anak.
Wajahnya segak namun kelihatan pucat sekali. Dia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum dia berkata,
“Makcik, makcik kenal mama saya? Saya rindu sekali pada mama!” Sesudah berkata demikian ia mulai pergi, namun saya menahannya, “Tunggu…, saya rasa saya kenal kamu. Siapa namamu wahai anak yang manis?”“Nama saya Yusri, makcik.”“Yusri…? Yusri… Ya Tuhan! Benarkah engkau ni Yusri???”
Saya terus tersentak dan terbangun. Rasa
bersalah, sesal dan pelbagai perasaan aneh yang lain menerpa diri saya
pada masa itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah yang terjadi dulu
seperti sebuah filem yang ditayangkan kembali di kepala saya. Baru
sekarang saya menyedari betapa jahatnya perbuatan saya dulu. Rasanya
seperti mahu mati saja saat itu. Ya, saya patut mati…, mati…, mati…
Ketika tinggal seinci jarak pisau yang
ingin saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Yusri
melintas kembali di fikiran saya. Ya Yusri, mama akan menjemputmu Yusri,
tunggu ya sayang!…
Petang itu saya membawa dan memarkir
kereta Civic biru saya di samping sebuah pondok, dan ia membuatkan Kamal
berasa hairan. Beliau menatap wajah saya dan bertanya,
“Hasnah, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kita berada di sini?”“Oh, Kamal, kau pasti akan membenciku selepas aku menceritakan hal yang aku lakukan dulu,”
Saya terus menceritakan segalanya dengan
terisak-isak… Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia memberikan
suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Selepas tangisan saya reda,
saya keluar dari kereta dengan diikuti oleh Kamal dari belakang. Mata
saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan
saya. Saya mula teringat yang saya pernah tinggal dalam pondok itu dan
saya tinggalkannya, Yusri.. Yusri… Di manakah kamu?
Saya meninggalkan Yusri di sana 10 tahun
yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri pondok
tersebut dan membuka pintu yang diperbuat daripada buluh itu… Gelap
sekali… Tidak terlihat sesuatu apapun di dalamnya!
Perlahan-lahan mata saya mulai terbiasa
dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemui
sesiapapun di dalamnya. Hanya ada sehelai kain buruk yang berlonggok di
lantai tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan betul-betul…
Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain itu . Ini adalah
baju buruk yang dulu dipakai oleh Yusri setiap hari…
Beberapa saat kemudian, dengan perasaan
yang sangat sedih dan bersalah, saya pun keluar dari ruangan itu… Air
mata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat
kemudian saya dan Kamal mulai menaiki kereta untuk meninggalkan tempat
tersebut. Namun, saya melihat seseorang berdiri di belakang kereta kami.
Saya terkejut sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah
wajah orang itu yang sangat kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Saya
terkejut lagi apabila dengan tiba-tiba dia menegur saya. Suaranya
parau.
“Heii…! Siapa kamu?! Apa yang kamu mahu?!”Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya,“Ibu, apakah ibu kenal dengan seorang anak bernama Yusri yang dulunya tinggal di sini?”Ia menjawab,“Kalau kamu ibunya, kamu adalah perempuan terkutuk!! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Yusri terus menunggu ibunya dan memanggil, ‘Mama…, mama!’ Kerana tidak tahan melihat keadaannya, kadang-kadang saya memberinya makan dan mengajaknya tinggal bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemungut sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Yusri meninggalkan sehelai kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu…”
Saya pun membaca tulisan di kertas itu…
“Mama, mengapa mama tidak pernah kembali lagi…? Mama marah pada Yusri, ya? Mama, biarlah Yusri yang pergi saja, tapi mama harus berjanji mama tidak akan marah lagi pada Yusri.”
Saya menjerit histeria membaca surat
itu. “Tolong bagi tahu.. di mana dia sekarang? Saya berjanji akan
menyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi! Tolonglah
cakap…!!!” Kamal memeluk tubuh saya yang terketar-ketar dan lemah.
“Semua sudah terlambat (dengan nada lembut). Sehari sebelum kamu datang, Yusri sudah meninggal dunia. Dia meninggal di belakang pondok ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang pondok ini tanpa berani masuk ke dalamnya. Dia takut apabila mamanya datang, mamanya akan pergi lagi apabila melihatnya ada di dalam sana… Dia hanya berharap dapat melihat mamanya dari belakang pondok ini… Meskipun hujan deras, dengan keadaannya yang lemah ia terus berkeras menunggu kamu di sana . Dosa kamu tidak akan terampun!”
Saya kemudian pengsan dan tidak ingat apa-apa lagi.
Semoga menjadi pelajaran bagi kita
sebagai orang tua ataupun bagi yang akan berkahwin. Janganlah
menyalahkan apa yang sudah diberikan oleh Allah. Tetapi hargailah apa
yang diberikan oleh Allah. Dan cuba bersabar. Kerana DIA tidak akan
memberikan sesuatu apapun dengan sia-sia.
Moral – sayangi orang di
sekitar anda. Kita tidak tahu siapa yang benar benar menyayangi kita…
Dipetik dari nota Facebook Kak Norzulita Baharuddin
No comments:
Post a Comment